BJ Habibie
https://nusantaranews.wordpress.com/2009/04/02/biografi-bj-habibie-bapak-teknologi-dan-demokrasi-indonesia/
Masa Muda
Prof. DR (HC). Ing. Dr. Sc. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie atau dikenal
sebagai BJ Habibie (73 tahun) merupakan pria Pare-Pare (Sulawesi
Selatan) kelahiran 25 Juni 1936. Habibie menjadi Presiden ke-3 Indonesia
selama 1.4 tahun dan 2 bulan menjadi Wakil Presiden RI ke-7. Habibie
merupakan “blaster” antara orang Jawa [ibunya] dengan orang
Makasar/Pare-Pare [ayahnya].
Dimasa kecil, Habibie telah menunjukkan kecerdasan dan semangat tinggi
pada ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya Fisika. Selama enam bulan,
ia kuliah di Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung (ITB),
dan dilanjutkan ke Rhenisch Wesfalische Tehnische Hochscule – Jerman
pada 1955. Dengan dibiayai oleh ibunya, R.A. Tuti Marini Puspowardoyo,
Habibie muda menghabiskan 10 tahun untuk menyelesaikan studi S-1 hingga
S3 di Aachen-Jerman.
Berbeda dengan rata-rata mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa di
luar negeri, kuliah Habibie (terutama S-1 dan S-2) dibiayai langsung
oleh Ibunya yang melakukan usaha catering dan indekost di Bandung
setelah ditinggal pergi suaminya (ayah Habibie). Habibie mengeluti
bidang Desain dan Konstruksi Pesawat di Fakultas Teknik Mesin
. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan predikat summa cum laude.
. Selama lima tahun studi di Jerman akhirnya Habibie memperoleh gelar Dilpom-Ingenenieur atau diploma teknik (catatan : diploma teknik di Jerman umumnya disetarakan dengan gelar Master/S2 di negara lain) dengan predikat summa cum laude.
Pak Habibie melanjutkan program doktoral setelah menikahi teman SMA-nya,
Ibu Hasri Ainun Besari pada tahun 1962. Bersama dengan istrinya tinggal
di Jerman, Habibie harus bekerja untuk membiayai biaya kuliah sekaligus
biaya rumah tangganya. Habibie mendalami bidang Desain dan Konstruksi
Pesawat Terbang. Tahun 1965, Habibie menyelesaikan studi S-3 nya dan
mendapat gelar Doktor Ingenieur (Doktor Teknik) dengan indeks prestasi summa cum laude.
Karir di Industri
Selama menjadi mahasiswa tingkat doktoral, BJ Habibie sudah mulai
bekerja untuk menghidupi keluarganya dan biaya studinya. Setelah lulus,
BJ Habibie bekerja di Messerschmitt-Bölkow-Blohm atau MBB Hamburg
(1965-1969 sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan pada Analisis
Struktrur Pesawat Terbang, dan kemudian menjabat Kepala Divisi Metode
dan Teknologi pada industri pesawat terbang komersial dan militer di MBB
(1969-1973). Atas kinerja dan kebriliannya, 4 tahun kemudian, ia
dipercaya sebagai Vice President sekaligus
Direktur Teknologi di MBB periode 1973-1978 serta menjadi Penasihast
Senior bidang teknologi untuk Dewan Direktur MBB (1978 ). Dialah menjadi satu-satunya orang Asia yang berhasil menduduki jabatan nomor dua di perusahaan pesawat terbang Jerman ini.
Sebelum memasuki usia 40 tahun, karir Habibie sudah sangat cemerlang,
terutama dalam desain dan konstruksi pesawat terbang. Habibie menjadi
“permata” di negeri Jerman dan iapun mendapat “kedudukan terhormat”,
baik secara materi maupun intelektualitas oleh orang Jerman. Selama
bekerja di MBB Jerman, Habibie menyumbang berbagai hasil penelitian dan
sejumlah teori untuk ilmu pengetahuan dan teknologi dibidang
Thermodinamika, Konstruksi dan Aerodinamika. Beberapa rumusan teorinya
dikenal dalam dunia pesawat terbang seperti “Habibie Factor“, “Habibie Theorem” dan “Habibie Method“.
Kembali ke Indonesia
Pada tahun 1968, BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk
bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur
Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie.
Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM)
insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan
membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat). Dan
ketika (Alm) Presiden Soeharto mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk
menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia, BJ Habibie langsung
bersedia dan melepaskan
jabatan, posisi dan prestise tinggi di Jerman. Hal ini dilakukan BJ
Habibie demi memberi sumbangsih ilmu dan teknologi pada bangsa ini. Pada 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Iapun diangkat menjadi penasihat pemerintah (langsung dibawah Presiden)
di bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun
1978. Meskipun demikian dari tahun 1974-1978, Habibie masih sering
pulang pergi ke Jerman karena masih menjabat sebagai Vice Presiden dan
Direktur Teknologi di MBB.
Habibie mulai benar-benar fokus setelah ia melepaskan jabatan tingginya
di Perusahaan Pesawat Jerman MBB pada 1978. Dan sejak itu, dari tahun
1978 hingga 1997, ia diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Disamping itu Habibie juga diangkat sebagai Ketua Dewan Riset Nasional dan berbagai jabatan lainnya.
Ketika menjadi Menristek, Habibie
mengimplementasikan visinya yakni membawa Indonesia menjadi negara
industri berteknologi tinggi. Ia mendorong adanya lompatan dalam
strategi pembangunan yakni melompat dari agraris langsung menuju negara
industri maju. Visinya yang langsung membawa Indonesia menjadi negara
Industri mendapat pertentangan dari berbagai pihak, baik dalam maupun
luar negeri yang menghendaki pembangunan secara bertahap yang dimulai
dari fokus investasi di bidang pertanian. Namun, Habibie memiliki
keyakinan kokoh akan visinya, dan ada satu “quote” yang terkenal dari
Habibie yakni :
“I have some figures which compare the cost of one kilo of airplane compared to one kilo of rice. One kilo of airplane costs thirty thousand US dollars and one kilo of rice is seven cents. And if you want to pay for your one kilo of high-tech products with a kilo of rice, I don’t think we have enough.” (Sumber : BBC: BJ HABIBIE PROFILE -1998.)
Kalimat diatas merupakan senjata Habibie
untuk berdebat dengan lawan politiknya. Habibie ingin menjelaskan
mengapa industri berteknologi itu sangat penting. Dan ia membandingkan
harga produk dari industri high-tech (teknologi tinggi) dengan hasil
pertanian. Ia menunjukkan data bahwa harga 1 kg pesawat terbang adalah
USD 30.000 dan 1 kg beras adalah 7 sen (USD 0,07). Artinya 1 kg pesawat
terbang hampir setara dengan 450 ton beras. Jadi dengan membuat 1 buah
pesawat dengan massa 10 ton, maka akan diperoleh beras 4,5 juta ton
beras.
Pola pikir Pak Habibie disambut dengan baik oleh Pak Harto.Pres.
Soeharto pun bersedia menggangarkan dana ekstra dari APBN untuk
pengembangan proyek teknologi Habibie. Dan pada tahun 1989, Suharto
memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie dengan memberikan kepercayaan
Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL,
dan PT IPTN.
Habibie menjadi RI-1
Secara materi, Habibie sudah sangat mapan ketika ia bekerja di
perusahaan MBB Jerman. Selain mapan, Habibie memiliki jabatan yang
sangat strategis yakni Vice President sekaligus Senior Advicer di perusahaan high-tech Jerman.
Sehingga Habibie terjun ke pemerintahan bukan karena mencari uang
ataupun kekuasaan semata, tapi lebih pada perasaan “terima kasih” kepada
negara dan bangsa Indonesia dan juga kepada kedua orang tuanya. Sikap
serupa pun ditunjukkan oleh Kwik Kian Gie,
yakni setelah menjadi orang kaya dan makmur dahulu, lalu Kwik pensiun
dari bisnisnya dan baru terjun ke dunia politik. Bukan sebaliknya, yang
banyak dilakukan oleh para politisi saat ini yang menjadi politisi demi
mencari kekayaan/popularitas sehingga tidak heran praktik korupsi
menjamur.
Tiga tahun setelah kepulangan ke Indonesia, Habibie (usia 41 tahun)
mendapat gelar Profesor Teknik dari ITB. Selama 20 tahun menjadi
Menristek, akhirnya pada tanggal 11 Maret 1998, Habibie terpilih sebagai
Wakil Presiden RI ke-7 melalui Sidang Umum MPR. Di masa itulah krisis
ekonomi (krismon) melanda kawasan Asia termasuk Indonesia. Nilai tukar
rupiah terjun bebas dari Rp 2.000 per dolar AS menjadi Rp 12.000-an per
dolar. Utang luar negeri jatuh tempo sehinga membengkak akibat
depresiasi rupiah. Hal ini diperbarah oleh perbankan swasta yang
mengalami kesulitan likuiditas. Inflasi meroket diatas 50%, dan
pengangguran mulai terjadi dimana-mana.
Pada saat bersamaan, kebencian masyarakat memuncak dengan sistem orde
baru yang sarat Korupsi, Kolusi, Nepotisme yang dilakukan oleh
kroni-kroni Soeharto (pejabat, politisi, konglomerat). Selain KKN,
pemerintahan Soeharto tergolong otoriter, yang menangkap aktivis dan
mahasiswa vokal.
Dipicu penembakan 4 orang mahasiswa (Tragedi Trisakti)pada
12 Mei 1998, meletuslah kemarahan masyarakat terutama kalangan aktivis
dan mahasiswa pada pemerintah Orba. Pergerakan mahasiswa, aktivis, dan
segenap masyarakat pada 12-14 Mei 1998 menjadi momentum pergantian rezim
Orde Baru pimpinan Pak Hato. Dan pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto
terpaksa mundur dari jabatan Presiden yang dipegangnya selama lebih
kurang 32 tahun. Selama 32 tahun itulah, pemerintahan otoriter dan sarat
KKN tumbuh sumbur. Selama 32 tahun itu pula, banyak kebenaran yang
dibungkam. Mulai dari pergantian Pemerintah Soekarno (dan pengasingan
Pres Soekarno), G30S-PKI, Supersemar, hingga dugaan konspirasi Soeharto
dengan pihak Amerika dan sekutunya yang mengeruk sumber kekayaan alam
oleh kaum-kaum kapitalis dibawah bendera korpotokrasi (termasuk CIA,
Bank Duni, IMF dan konglomerasi).
Soeharto mundur, maka Wakilnya yakni BJ Habibie pun diangkat menjadi
Presiden RI ke-3 berdasarkan pasal 8 UUD 1945. Namun, masa jabatannya
sebagai presiden hanya bertahan selama 512 hari. Meski sangat singkat,
kepemimpinan Presiden Habibie mampu membawa bangsa Indonesia dari jurang
kehancuran akibat krisis. Presiden Habibie berhasil memimpin negara
keluar dari dalam keadaan ultra-krisis, melaksanankan transisi dari
negara otorian menjadi demokrasi. Sukses melaksanakan pemilu 1999 dengan
multi parti (48 partai), sukses membawa perubahan signifikn pada
stabilitas, demokratisasi dan reformasi di Indonesia.
Habibie merupakan presiden RI pertama yang menerima banyak penghargaan
terutama di bidang IPTEK baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Jasa-jasanya dalam bidang teknologi pesawat terbang mengantarkan beliau
mendapat gelar Doktor Kehormatan (Doctor of Honoris Causa) dari berbagaai Universitas terkemuka dunia, antara lain Cranfield Institute of Technology dan Chungbuk University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar